Indonesia sebagai negara yang kaya akan berbagai seni tradisional menjadikan setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri tentang seni di daerahnya. Salah satunya adalah Tari Dolalak yang berasal dari daerah Purworejo Jawa Tengah. Mungkin kebanyakan pembaca belum mengetahui seni tradisional asal Purworejo. Kalau makanan khas Purworejo, biasanya sudah banyak yang tahu, tapi kalau tarian dolalak ini sepertinya perlu ditambahkan informasi lebih lanjut agar banyak tahu.
Asal mula dari seni tari ini pada masa pendudukan Belanda di wilayah Indonesia khususnya di Purworejo. Susunan kata Dolalak saja bukan asli dari Purworejo, namun sebagai akulturasi bahasa Belanda dan Jawa. Dolalak dari suku kata Do dan La yang merupakan dua tangga nada dari susunan 7 tangga nada.
Dan memang tangga nada yang dimainkan pada kesenian Dolalak adalah tangga nada DO dan LA sampai ke lidah orang jawa menjadi Dolalak. Dolalak ini berupa seni tari yang diiringi musik, asalnya dari syair dan pantun jawa. Tariannya sendiri merupakan tiruan gerakan dansa Belanda. Orang eropa memang sangat menggemari berdansa terutama ketika mereka sedang melakukan pesta.
Dolalak, awalnya dilakukan oleh tiga orang pemuda Purworejo yaitu Rejotaruno, Rono dimejo dan Duliyat yang berasal dari desa Sejiwan, Kecamatan Loano, kabupaten Purworejo yang menirukan gerakan dansa orang Belanda. Lama kelamaan ada perkembangan mulai gerakan, musik pengiringnya dan nyanyiannya. Seni Dolalak sendiri benar-benar dipentaskan pada tahun 1915, sejak saat itu Dolalak menjadi tarian yang selalu ada pada setiap perayaan atau pertunjukan di Purworejo.
Tarian Dolalak ini dilakukan oleh 10 sampai dengan 16 orang laki-laki dewasa, yang mengenakan pakaian serba hitam dengan celana pendek hitam, hal ini dilakukan sampai dengan tahun 1968. Setelah tahun 1968, perempuan pun diijinkan untuk melakukan tarian dolalak. Malahan peran perempuan dalam seni dolalak menjadi sangat diandalkan karena perempuan lebih pas menarikan tarian tersebut dan lebih menarik perhatian.
Masa-masa suram tarian dolalak adalah menjelang beralihnya pendudukan dari Belanda ke Jepang, sekitar tahun 1940, kesenia Dolalak mengalami kemunduran dan jarang sekali dipentaskan. Kesenian ini kembali menggeliat setelah berakhirnya perang dunia kedua dan masa-masa agresi militer Belanda berakhir.